Senin, 20 April 2009

HAKEKAT KEPEMIMPINAN

SERING kita mendengar bahwa kepemimpinan bukan hanya didasarkan pada status, kedudukan atau jabatan. Penulis sependapat mengenai hal ini karena kepemimpinan adalah berhubungan dengan orang lain. Ketika berhubungan dengan orang lain maka adanya interaksi dan kepedulian terhadap kondisi orang lain baik itu positif maupun negatif. Dengan ini mulai muncul pengaruh diri kita pada orang lain. Seandainya kita mulai mengikuti apa yang disampaikan, baik melalui sikap, ucapan maupun karakter orang lain maka kita terpengaruh pada orang tersebut. Sama halnya dengan kita, jika ingin menimbulkan pengaruh pada orang lain maka kita harus menjadi teladan, peduli, membuat orang lain merasa dibutuhkan.

Pengaruh yang kita timbulkan terkadang hanya sebatas membuat orang mengikuti kita tapi belum dapat membuat orang juga berpengaruh seperti kita. Pada setiap pengaruh yang diberikan kepada orang lain memiliki tingkatan yang perlu dipahami mulai dari menciptakan pengaruh hingga membuat orang lain berpengaruh. Maxwell (2004) mengatakan “Pengaruh tidak muncul seketika, tapi tumbuh secara bertahap.”

Membangun pengaruh adalah hal yang terpenting dalam kepemimpinan. Pengaruh dibangun dari tahapan-tahapan yang saling terkait, merupakan hal yang mustahil jika ingin berpengaruh tapi tidak pernah belajar menjadi orang yang berpengaruh. Dimanakah letak pemebelajaran itu tergantung kita memahami tahapan-tahapan dalam membangun pengaruh pada orang lain. Ada 4 tahap yang perlu kita kembangan, yaitu, model, motivasi, mentor, dan pelipatgandaan.

Tikat Pertama yaitu model. Model merupakan teladan yang dibangun seseorang dalam membentuk karakter pribadi. Setiap orang lebih dahulu dipengaruhi dengan apa yang mereka lihat. Bagi kebanyakan orang, jika mereka merasakan kita bersikap positif dan layak dipercaya serta memiliki sifat-sifat yang patut dikagumi, mereka akan mencari kita sebagai pemberi pengaruh di dalam hidup mereka. Semakin baik orang mengenal kita, semakin besar kredibilitas kita dimata mereka dan semakin besar pula pengaruh kita-jika mereka senang dengan apa yang mereka lihat. Albright mengatakan "Sikap memecahkan masalah kita, tetapi itu akan mengganggu cukup banyak orang untuk membuatnya bermanfaat."

Untuk membangun pengaruh kita harus memperlakukan orang lain dengan hormat. Lombardi mengatakan "Jika kita memperlakukan orang lain dengan hormat dan memperlakukan mereka seperti pemenang, mereka akan tampil seperti pemenang."

Selain membentuk sikap yang positip, pada tingkatan model ini seseorang harus memiliki Integritas. Integritas merupakan dasar dari sebuah siklus kepemimpinan. Seorang pemimpin wajib memiliki integritas jika ingin mebangun pengaruh pada orang lain. "Kebutuhan akan integritas sekarang ini barangkali sama besarnya seperti sebelumnya. hal ini mutlak perlu bagi siapa saja yang ingin menjadi orang yang berpengaruh."(Maxwell, 2004). Integritas merupakan kekuatan bathin yang selalu membantu meluruskan jalan kita. Abraham Lincoln pernah mengatakan "Ketika saya meletakkan tampuk kepemimpinan pemerintahan ini, saya ingin mempunyai satu orang sahabat yang tersisa. Sahabat itu adalah diri saya sendiri." Lincoln memiliki integritas yang kuat ketika ia di kritik dan dihujat begitu hebat. Kekokohan karakter seseorang terhadap suatu hal menandakan keberadaan integritas tersebut.

Tingkat Kedua adalah motivasi. Jika ingin menimbulkan dampak yang benar-benar berarti bagi orang lain maka kita harus melakukannya dengan jarak yang dekat inilah yang membedakan antara motivasi dan model. Motivasi dilakukan dengan memberi dorongan dan komunikasi dengan orang lain pada tingkat emosi. Ada dua proses yang dilakukan dalam motivasi yaitu, membentuk jembatan antar kita dan orang lain dan membangun kepercayaan dan harga diri. Ketika orang lain merasa enak bersama kita maka timbul kepercayaan yang besar dari mereka.

Sebelum kita "meminta" pengaruh dari orang lain maka kita harus memberi. Beberapa hal yang harus kita berikan kepada orang lain, antara lain, kasih sayang, respek, rasa aman, pengakuan dan dorongan. Orang lain akan berusaha mengembalikan manfaat apa yang meraka dapatkan dari kita.

Kepercayaan adalah sikap lain yang perlu dimiliki untuk membuat orang termotivasi dengan apa yang dimilikinya. Nancy Dornan mengemukakan bahwa "Ketika Anda percaya kepada orang lain, mereka akan mengerjakan hal-hal lain yang mustahil." (Maxwell&Dornan, 2004) hal ini dipertegas dalam sebuah kata bijak yang mengatakan bahwa "Percaya kepada orang lain sebelum membuktikan diri mereka adalah kunci memotivasi untuk mewujudkan potensi mereka.”

Selain kepercayaan yang perlu dimiliki, mendengarkan dan memahami juga akan menambah besar pengaruh kita pada orang lain. Mendengarkan apa yang diampaikan orang lain adalah penghargaan besar yang membuat mereka tersanjung, dipercaya, dihargai dan dimengerti atas apa yang dimilikinya. Ketika orang melihat mereka dimengeti, mereka menjadi termotivasi untuk memahami pandangan kita.

Sekarang tingkat pengaruh kita di tingkat mentor. Setelah kita mulai mempengaruhi orang lain dengan jarak dekat yaitu memotivasi mereka, kita akan menjadi mentor yang baik bagi mereka. Mentoring yang kita berikan berarti menuangkan hidup kita kepada diri orang lain dan membantu mencapai potensi mereka. Kekuatan mentoring ini sangat besar sehingga kita dapat melihat hasil usaha kita mempengaruhi orang lain di hadapan kita.

Kekuatan mentoring adalah sikap dimana kita dapat mengembangkan, menavigasi, berhubungan dan memperlengkapi orang lain. Tentunya perlu sikap positif yang kita kembangkan untuk bisa menjadi mentor dari orang lain.

Setelah kita berada di tingkat mentor maka kita perlu menaikkan tingkat pengaruh kita di tingkat pelipatgandaan. Pada tingkat pelipatgandaan ini pengaruh yang kita bentuk pada orang lain akan terus berkembang. Orang lain juga akan merasa bahwa ia memiliki pengaruh pada individu disekelilingnya. Setelah memberi pengaruh yang berlipat ganda, kita membantu yang telah dipengaruhi tadi menjadi pemberi pengaruh positif dalam kehidupan orang lain dan meneruskan tidak hanya

Pada apa yang sudah mereka terima dari kita, tetapi juga dari apa yang sudah mereka mereka pelajari dan kumpulkan sedikit demi sedikit.

Menutup opini ini penulis menyarankan untuk menjadi seorang pemimpin asahlah terus “pisau” pengaruh kita pada orang lain jika semakin tajam maka akan semakin berpengaruh. Ketika kita menghendaki pisau menjadi tajam tentu ia perlu diasah dan ketika mengasah inilah menjadi tahap yang harus kita lakukan menjadikan pisau itu tajam. Sema halnya dengan pengaruh, pengaruh tidak datang seketika tanpa proses. Dalam membangun pengaruh kita harus berbuat karena orang lain selalu mengukur kepedulian kita karena “Setiap orang tidak melakukan apa yang kita katakan, tapi akan melakukan apa yang kita kerjakan. Oleh karena itu melakukan lebih baik daripada mengatakan.

Senin, 13 April 2009

Hakekat Kebahagiaan

Oleh : Lukmanulhakim

KEBAHAGIAN bukan merupakan hal yang tabu untuk dibahas, setiap waktu, tempat dan keadaan sering kita dengar. Berkaitan dengan hal ini, setiap orang memiliki berbagai macam definisi dan bentuk serta selalu ingin mendapatkannya baik dari segi materi maupun spiritual. Sebagai contoh mendapat jabatan, prestasi, kesehatan dan lain-lain.

Kebahagian juga terkadang sering dilihat secara parsial, bahwa bahagia hanya dilihat dari sisi materi dengan punya uang yang banyak, bahagia punya pasangan yang cantik, bahagia karena punya rumah mewah, dan sebagainya. Dengan demikian maka materi akan menjadi tujuan hidupnya. Pemahaman yang sempit mengenai kebahagiaan juga dimiliki oleh para pemikir Yunani kuno seperti Plato dan Aristoteles. Plato mengatakan bahwa “hanya jiwalah yang dapat mengalami kebahagian”. Sedangkan aristoteles mengatakan bahwa “kebahagian itu dapat dinikmati oleh manusia di dunia, kendati jiwanya masih terkait dengan badan”.

Jika kita memahami kembali hakekat kebahagian bahwa kebahagiaan adalah kondisi dimana kita merasa senang, tenang, aman, tentram dan damai. Lynn Peters m,enyatakan bahwa “Kebahagian bukanlah tentang apa yang terjadi pada kita, kebahagiaan adalah tentang bagaimana kita mempersepsi apa yang terjadi pada kita. Kebahagiaan adalah ketrampilan menemukan sesuatu yang positif pada setiap hal yang negatif, dan melihat kegagalan sebagai tantangan. Andaikata kita bisa berhenti mengharapkan apa yang yang tidak kita miliki, dan mulai menikmati apa yang sudah kita miliki, kehidupan kita dapat menjadi lebih kaya, lebih memuaskan, dan lebih bahagia. Sekaranglah saat untuk menjadi bahagia”.

Ibnu Miskwaih melihat kebahagiaan secara lebih komprehensif. Menurutnyam manusia memiliki dua unsur yaitu jiwa dan tubuh. Maka kebahagiaan itu menjadi hak bagi keduanya. Kebahagian itu sediri ada dua tingkat, pertama ada manusia yang terikat dengan hal-hal yang bersifat benda dan mendapatkan kebahagian dengannya. Kedua, manusia yang melepaskan diri dari keterikatannya kepada benda dan memperoleh kebahagiaan lewat jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda tidak diingkarinya, tetapi dipandang sebagai kekuasaan Allah. Kebahagiaan yang bersifat benda menurut Beliau mengandung kepedihan dan penyesalan serta penghambat perkembangan jiwanya menuju ke hadirat Allah. Kebahagiaan jiwalah yang merupakan kebahagiaan yang sempura dan mampu mengantar manusia yang memilikinya ke derajat malikat.

Di samping keinginan kebahagiaan juga merupakan perintah dari Allah SWT yang harus diusahakan oleh hambanya seperti yang tertuang dalam QS. Al-Qashas : 77 ”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.

Kebahagian sebagai tujuan menjadi motivasi untuk berbuat lebih baik. Artinya, kebahagian bisa menjadi tujuan kehidupan yang dijanjikan oleh Sang Khaliq. seperti firman Allah SWT dalam QS. Al-Balad dan Asy Syam. Kedua-dua surat ini sama-sama menerangkan bahwa Allah telah menunjukkan kepada manusia dua buah jalan yaitu jalan yang pada surat Asy Syams disebut jalan kefasikan dan jalan ketakwaan.

Dalam surat Al-Balad dijelaskan bahwa manusia haruslah bersusah payah mencari kebahagiaan dan Allah sendiri telah menunjukkan jalan yang membawa kepada kebaikan, dan jalan yang membawa kepada kesengsaraan. Tuhan menggambarkan bahwa jalan yang membawa kepada kebahagiaan itu lebih sulit menempuhnya daripada yang membawa kepada kesengsaraan. Sedangkan dalam surat Asy Syams:8-10 ditegaskan bahwa orang yang menjalani jalan ketakwaan itu akan berbahagia dan orang yang menjalani jalan kefasikan itu akan merugi.

Mengakhiri uraian ini penulis mengajak pembaca untuk kembali mengintrospeksi motivasi dan tujuan dalam memperoleh kebahagian. Amatlah sedikit yang diperlukan untuk membuat suatu kehidupan yang membahagiakan, semuanya ada dalam diri kita sendiri, yaitu di dalam cara anda berpikir dan bersikap. Berusahalah mengejar kebahagian karena tidak datang dengan sendirinya tapi diusahakan.

Untuk Apa Kuliah?

Oleh: Lukmanulhakim

Dalam menyikapi perkembangan dunia yang semakin pesat dan kompleks ini, kita dituntut untuk lebih proaktif dan kritis terhadap tantangan yang harus ditanggapi jika ingin mengiringi perkembangan tersebut.

Banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi berdampak kepada kehidupan masyarakat dan perekonomian menjadi lebih kompleks, sifat dasar pekerjaan tunbuh sangat pesat, masa lalu semakin tidak dapat dijadikan pedoman bagi masa depan, jenis-jenis pekerjaan menghilang dengan kecepatan tak terbayangkan dan banyak tantangan lain yang harus dihadapi di zaman ketidakpastian ini (Rose & Nicholl, 2002).

Keberhasilan pada masa depan akan tergantung sejauh mana kita mengembangkan ketrampilan-ketrampilan yang tepat untuk menguasai kekuatan kecepan, kompleksitas dan ketidakpastian yang saling berhubungan satu sama lain.

UNESCO memberikan ciri masyarakat masa depan adalah globalisasi ekonomi, demokrasi sistem politik, dan seluruh aktifitas manusia berbasis ilmu pengetahuan yang kesemuanya itu menghendaki masyarakat pembelajar (Learning Society). Untuk menciptakan masyarakat pembelajar sebagaimana yang diamanahkan UNESCO di atas, maka perguruan tinggi berupaya menghasilkan manusia pembelajar yang diharapkan dapat menhadapi tantangan perkembangan di masa depan.

Kampus atau perguruan tinggi sebagai lembaga pembelajaran dituntut untuk menciptakan ilmuwan dan produk pengembangan serta kesiapan penerapan keahlian dalam masyarakat. Hal-hal tersebut akan dibangun memalui bangku perkuliahan. Bangku perkuliahan sendiri merupakan suatu proses pembelajaran pada satuan pendidikan yang diselenggarakan harus secara interaktif, inspiratif, dan menyenangkan, menantang, dan memotivasi mahasiswanya untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang cukup bagi prakarsa, kreatifitas dari kemandirian sesuai dengan bakat, minat , dan perkembangan fisik dan psikologi.

Sayangnya yang menjadi kewajiban dari perguruan tinggi di atas belum dapat membantu menciptakan mahasiswa yang dapat menyesuaikan diri setelah menamatkan perkuliahan. Hal ini terbukti masih terdapat korelasi yang signifikan antara kelulusan perguruan tinggi dengan angka pengangguran kaum terdidik. Harus disadari bahwa realitas tersebut masih disebabkan oleh ketalnya pengaruh aliran behavioristik.

Aliran behavioristik merupakan aliran lama cendrung kaku dalam menjtransformasi dan mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Ciri-cirinya yaitu (1) masih memandang pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap dan tidak berubah; (2) belajar dalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah mentransfer ilmu pengetahuan ke orang yang belajar; (3) perserta didik diharapkan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan, artinya apa yang dipahami oleh pengajar itulah yang harus dipahami oleh yang belajar; (4) fungsi mind adalah menjiplak struktur pengetahuan melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan.

Pengaruh aliran behavioristik di atas berdampak sangat besar terhadap kecerdasan dalam menanggapi ilmu pengetahuan dan berimbas pula pada menurunnya kreatifitas peserta didik dalam mengekspresikan kemampuannya. Bahkan akan memberikan kebingungan terhadap perguruan tinggi yang dipilih untuk mendapatkan masa depan yang cerah, sedangkan system pembelajaran yang dihadapi semasa perkuliahan belum sesuai dengan apa yang diharapkan.

Sindunata dalam (Hariera, 2004) menyatakan para ahli di Jerman dan Perancis misalnya, tidak lagi sekedar mempertanyakan sekolah dan universitas apa yang kita perlukan di masa depan? Tetapi sudah sampai pada pertanyaan yang lebih mendasar yaitu adakah masa depan bagi sekolah dan universitas?.

Perkuliahan yang sarat dengan pendekatan behavioristik di atas tidak dapat diharapkan membentu atau melahirkan manusia pembelajar. Jika demikian untuk apa kuliah?

Untuk mewujudkan manusia dan masyarakat pembelajar, maka pembelajaran yang selama ini masih berlangsung harus dirubah. Pembelajaran harus mulai bergeser ke arah aliran/pendekatan konstruktivistik. Aliran ini memilki ciri-ciri (1) pengetahuan adalah non objektif, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu; (2) penyusuna pengetahuan dari pengalaman konkret, aktifitas kolaboratif, refleksi dan interpretasi; (3) peserta didik memilki pengalaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya, dan perspektifnya dalam mengimlementasikan ilmu; (4) Mind berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasikan peristiwa, objek atau perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individulistik. Pembelajaran ini menekankan pada belajar bagaimana belajar, menciptakan pemahaman baru yang menuntut aktifitas kreatif, produktif dalam konteks nyata yang mendorong peserta didik untuk berpikir ulang serta mendemonstrasikannya.

Ciri-ciri pembelajaran konstruktivistik di atas telah memberikan kita penjelasan singkat bagaimana seharusnya sistem pembelajaran yang seharusnya kita terima dan gunakan untuk membentuk manusia pembelajar. Aliran konstruktivistik berangkat dari pengakuan bahwa orang yang belajar harus bebas. Hanya di alam yang penuh kebebasan inilah si pelajar dapat mengungkapkan makna yang berbeda dari dari hasil interpretasinya terhadap segala sesuatu yang ada di dunia nyata. Kebebasan menjadi unsur yang mendasar dalam lingkungan belajar.

Kegagalan atau keberhasilan , kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang sangat perlu untuk dihargai. Kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Peserta didik adalah subjek yang harus mampu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam belajar karena kontrol belajar dipegang oleh Si pelajar itu sendiri.

Belajar Memimpin dari Sebuah Lukisan

Oleh : Lukmanulhakim

SETELAH kita belajar bagimana menjadi seorang pengikut, maka kita perlu belajar memperlakukan pengikut menjadi pemimpin bagi diri mereka. Setiap pengikut menginginkan ke mana mereka harus pergi. Pemimpin yang baik akan memberikan visi yang jelas kepada para pengikutnya. Maxwell(2005) dalam bukunya “Remaja Hebat” menyatakan “Semua pemimpin besar memiliki dua hal, mereka tahu kemana mereka pergi dan mereka bisa membuat orang lain mengikuti mereka.”

Sering kita melihat bahkan melakukan, ketika seorang ingin memimpin maka ia diminta untuk menyampaikan visi dan misinya selama kepemimpinannya. Jika visi dan misi itu jelas, dan mempengaruhi orang, lain maka ia diberi kepercayaan menjadi pemimpin bagi orang lain. Untuk mempengaruhi orang lain dengan ide hebat yang kita miliki ketika orang lain siap dengan ide itu.

Beberapa pemimpin besar menjelaskan visi mereka dengan “melukis sebuah gambar” untuk para pengikut mereka. Setiap komposisi tertentu pada lukisan membuat orang lain mengerti, menghargai dan “melihat” mereka.

Dalam lukisan yang dibuat kita dapat meletakkan komponen-komponen penting misalnya, cakrawala bebas, matahari, gunung, burung, bunga, jalan, bahkan diri kita termasuk pada komposisi tersebut. Komposisi yang kita buat sesuai dengan visi yang kita tuju selama kepemimpinan kita.

Cakrawala, dimana kita meletakkan cakrawala menunjukkan besar visi itu jadinya. Setiap orang akan memutuskan beberapa tinggi langit yang dia ingin pergi. Tanggung jawab kita sebagai pemimpin adalah menaruh banyak langit ke dalam lukisan kita. Kita ingin mendorong pengikut kita untuk meraih bintang guna mendapatkan hasil yang tertinggi baginya!

Matahari, pada sebuah lukisan kepemimpinan yang kita buat, matahari akan membawa kehangatan dan harapan. Sinar terang memberikan hal-hal baik pada orang. Jika kita ingin menjadi pemimpin besar, terserah kita untuk membawa sinar terang kepada tim dan menjaga harapan mereka tetap hidup.

Coba kita membayangkan betapa hangat hari yang cerah dibanding dengan dinginnya hari yang hujan. Apakah kita merasa senang ketika matahari bersinar? Kebanyakan orang seperti itu. Sama halnya bila kita membandingkan seorang pemimpin yang kuat dengan yang lemah. Seorang pemimpin yang kuat dan gembira membuat segalanya tampak menyenangkan dan bermanfaat. Pemimpin yang lemah dan dingin membuat sebuah wacana yang akan menguap dan kosong.

Gunung, setiap memiliki tantangan . tugas kita adalah meyakinkan orang untuk “mendaki gunung dan memanjat dinding”. Seorang pendaki gunung tidak akan merasa putus asa sebelum mencapai puncak tujuannya dan visi terbesarnya.

Seorang imigran Amerika yang berasal dari Thailand menderita kelainan yaitu kembar thorakopagus-kembar siam yang menyatu di dada-tak pernah merasa putus asa melewati gunung kehidupannya untuk mendapat kesuksesan yang terbesar dalam hidup. Waktu demi waktu dilaluinya dengan semangat dan mengesampingkan kekurangannya. Ia pun menggapai visinya dengan menjadi petani sukses di Carolina Utara dan akhinya wafat pada usia ke enam puluh tahun. “Seorang korban yang berjalan menyusuri pasir memandang ke bawah dan hanya melihat debu, seorang pemenang melihat bahan untuk membangun sebuah puri” demikian Ben Carson (2000) dalam bukunya The Big Picture dalam menanggapi kasus Chang dan Eng.

“Perjuangan hidup tidak selalu memihak orang yang lebih kuat atau lebih cepat. Tetapi cepat atau lambatnya orang yang menang adalah menganggap dirinya bisa” (Maxwell,2002). David Brinkley mengemukan bahwa “suksesnya seseorang yang dapat meletakkan landasan yang kokoh dengan bata-bata yang telah dilemparkan orang lain kepadanya.”

Burung, di dalam lukisan mewakili dua hal yang ingin para pengikut miliki yaitu kebebasan dan semangat. Coba kita membayangkan seekor elang melayang tanpa memerlukan tenaga menuju sebuah gunung maka ia tidak akan sanggup. Apakah yang membuat semangat kita membumbung tinggi dan memberi kita rasa kebebasan? Itulah yang kita ingin orang lain rasakan ketika mereka “melihat” visi dari kepemimpinan kita. “pegang terus visi-visi, karena jika visi tersebut mati maka hidup ibarat seekor burung patah sayapnya yang tak bisa terbang.” (Hughes, 2005). Oleh karena itu gunakan kebebasan dan semangat kita untuk membuat orang lain membutuhkan kita karena “seekor burung tidak akan menggunakan sarang mereka untuk terbang”.

Bunga, walau kita sedang mengerjakan sesuatu yang sangat disukai, kita juga harus istirahat. Perjalanan menuju harapan yang besar butuh waktu dan tenaga. Setiap tujuan tidak akan datang dengan tiba-tiba karena itu membutuhkan proses, janganlah tergesa-gesa.

Jalan, ketika kita akan berangkat menuju suatu tempat maka didahului dengan permulaan dan arah yang kita tuju. Seorang musyafir melewati pedalaman yang berat, bertanya kepada Baduy pemandunya, “Bagaimana Anda bisa memilih jalan melewati puncak-puncak yang tidak rata dan jalan kecil yang berbahaya tanpa tersesat?”, Baduy itu menjawab,” Aku memiliki visi dekat dan jauh. Visi dekat dengan melihat apa yang ada di hadapanku; visi jauh memandu jalanku dengan bintang-bintang.”

Kita, jangan lupa melukiskan diri kita pada lukisan yang dibuat. Ketika kita memiliki tujuan dan harapan kepada orang lain maka kita harus masuk dengan menjadi bagian darinya. Hal yang terpenting dari kepengikutan adalah teladan yang baik dan teladan itu adalah kita. Indira Gandhi-mantan perdana menteri India- mengatakan “Dulu aku mengira kepemimpinan berarti otot, tetapi sekarang aku baru tahu kepemimpinan adalah hakikat bergaul baik dengan orang lain.”

Sebelum mengakhiri lukisan yang dibuat, pikirkan kembali apa komposisi penting yang perlu ditambahkan bagi para pengikut kita. Dengarlah apa kata anggota dari lingkungan yang kita pimpin karena pemimpin besar di dunia ini tidak bekerja sendiri.

Lukisan yang kita buat akan menentukan ke arah mana pengikut akan kita bawa . Jangan pernah menjadi pemimpin yang terbatas yaitu tidak dapat melihat visi yang dituju dan meneruskannya. Pemimpin yang terbatas juga tidak membiarkan visi mereka melebihi lingkaran kecil dari lingkungannya.

Menutup opini ini, ada beberapa hal penting bagi pemimpin untuk membuat pengikut juga merasa menjadi pengikut. Seorang pemimpin besar membuat pengikut merasa bagian dari kepemimpinannya. Setiap pengikut akan senang jika mereka dilibatkan, dianggap penting, dihargai dan dibutuhkan, maka merekapun akan membalas hal yang demikian. Setiap pengikut tidak mengambil banyak dari apa yang diketahui pemimpinnya, sampai mereka tahu seberapa jauh pemimpinnya peduli (Maxwell, 2002). Maka dari itu ingat selalu pengikut ketika membuat lukisan kepemimpinan dan libatkan mereka dalam visi kita.

Puisi Cina Lama mengatakan kepada setiap pemimpin untuk; mendengarkan orang lain, bergaul bersama mereka, kasihi mereka, awali dengan apa yang mereka tahu, bangun pada apa yang mereka miliki, dan dari pemimpin yang terbaik, ketika pekerjaan mereka siap, dan tugas mereka sesesai, maka orang itu berkata, “Kita melakukannya bersama”.

Belajar Sekarang, Memimpin Esok

Oleh : Lukmanulhakim


Kepemimpinan merupakan sebuah tema yang tak pernah usai dibicarakan dalam masyarakat. Apalagi di musim pemilu legislative dan presiden serta pilkada. Perlu disadari bahwa kepemimpinana merupakan fitrah yang tak dapat dipungkiri sebagai manusia yang diutus oleh pencipta, seperti yang tertuang dalam firman Allah “Aku hendak menjadikan khalifah (pemimpin) di muka bumi” (QS. Al-Baqarah : 30).

Memang, kepemimpinan merupakan tema yang menarik untuk dibicarakan. Siapa yang tak ingin menjadi pemimpin? Setiap orang ingin menjadi pemimpin, persoalannya bagaimanakah menjadi pemeimpin yang mampu mengembah amanah dan menjadi contoh dalam masyarakat?.

Seperti yang kita lihat di pemilu legistatif kemarin begitu banyak caleg-caleg yang maju untuk menjadi pemimpin sedangkan kursi yang disediakan hanya mungkin ± 2,5% nya saja. Setelah terpenuhi, tentunya kita bertanya kembali, apakah mereka layak disebut pemimpin? Atau mungkin sebuah uforia semata dalam menyambut pesta demokrasi di negeri ini yang beruntung masuk sebagai pemenang untuk menjadi anggota legislatif.

Semasa kampanye kita melihat begitu banyak janji-janji dan biaya yang dikeluarkan. Apakah cara seperti itu yang diharapkan untuk menjadi pemimpin? Mungking kita lupa mengenai hokum-hukum kepemimpinan yang diantaranya hukum pengaruh, hukum kredibilitas, dan hukum proses (Maxwell, 2004).

Kepemimpinan adalah pengaruh, dan pengaruh selalu diawali dengan kepercayaan, dan kepercayaan itu melalui proses jangka panjang tidak instant. Kepercayaan itu muncul ketika empati pemimpin dirasakan oleh orang yang dipimpin/pengikut. Untuk memunculkan empati maka pemimpin harus menjadi pengikut yang baik juga.

Apakah setiap calon pemimpin memilki profil pemimpin yang sering dibicarakan dan diharapkan oleh pengikutnya. Tentunya masih belum, ada pemimpin yang hanya pandai bicara ketika kampanye, tapi lupa setelah terpilih. Ada juga yang menganggap kekuasaan sebagai prestise belaka untuk identitas pribadinya dan berbagai macam model lain. Di sisi lain sering kita lihat juga pemimpin yang hanya didasarkan pada status keluarga, jabatan, situasi, dan golongan tapi bukan didasarkan pada kemapuannya memimpin. Tentu pemimpin seperti itu tidak akan lama dan kokoh.

Kita sadar bahwa memimpin bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Memimpin memang sulit tapi belajar memimpin adalah segalanya. Maka dari itu berusahalah menjadi pemimpin dengan cara belajar menjadi orang yang dipimpin. Belajarlah menjadi pengikut.

Sebelum kita memimpin esok, mulailah belajar dari sekarang bagaimana menjadi pengikut yang baik. Pakar kepemimpinan dunia Warren Bennis (1998) melakukan penelitian pada 90 pemimpin top di dunia dan menemukan bahwa pemimpin yang sukses awalnya adalah terdiri dari orang-orang yang belajar menjadi pengikut.

Pernyataan tersebut dipertegas oleh John C. Maxwell (2004) dalam bukunya yang berjudul Becoming a Person if Influence menyatakan bahwa menjadi pengikut perlu sepuluh hal yang terpenti untuk orang lain, yaitu (1)Integritas kepada orang lain, artinya mempertahankan nilai-nilai moral yang diyakini kepada orang lain. Integritas memperlihatkan komitmen pada suatu hal dan bukan sebagai orang yang Tu La Lit; (2)memelihara orang lain. Jika kita memandang ke sekeliling, maka akan disaksikan bahwa ada orangdi dalam hidup kita yang ingin diberi makan, dengan dorongan, pengakuan, rasa aman, dan harapan, yang merupakan kebutuhan setiap manusia. Inti dari proses pemeliharaan adalah perhatian tulus akan orang lain; (3)percaya terhadap kemampuan orang lain. Setiap orang akan senang jika mereka merasa dipercayai dan banyak orang akan mengerjakan apa saja untuk memenuhi kepercayaan kepadanya; (4)mendengar apa yang disampaikan orang lain. Ketika hal tersebut dilakukan sesungguhnya kita membangun hubungan terhadap orang lain dan mereka merasa dihargai; (5)kemampuan memahami orang lain. Setiap orang sebenarnya ingin didengarkan, dihormati dan dipahami, ketika orang melihat bahwa mereka dipahami, mereka akan merasa termotivasi dan terpengaruh secara positif; (6)mengembangkan orang lain, artinya membantu mereka menangkap peluang untuk membantu mewujudkan potensi mereka; (7)menjadi arah (navigator), artinya mengidentifikasi tempat tujuan. Ketika seseorang memiliki potensi pribadinya maka ia memerlukan arah untuk mengembangkan potensi tersebut; (8)berhubungan dengan orang lain, dianalogikan pada rangkaian gerbong kereta api dan apa yang terjadi. Gerbong itu ada di atas rel, dimuati barang-barang, mempunyai tujuan dan rute. Tapi gerbong ini tidak memiliki arah jika tidak dihubungkan dengan lokomotif. Sama halnya ketika kita membawa orang pergi, kemana mereka harus pergi, dimana keberadaanya, ini hanya akan diketahui jika kita memiliki hubungan; (9)memperlengkapi orang lain, artinya ketika kita mempercayai orang lain dengan sebuah keputusan penting dan dengan senang mendukungnya. Ketika kita memberikan wewenang kepada orang lain maka kita telah meningkatkan kemampuan orang lain tanpa menurunkan kemampuan kita; (10)mereproduksi orang berpengaruh artinya bagaimana ketika kita telah merubah orang lain untuk menjadi pengikut seperti kita.

Kesepuluh hal tersebut penting dan harus dimiliki setiap orang yang ingin menjadi pengikut yang baik. Seorang pengikut yang baik selalu berusaha membuat pemimpinnya dan orang lain senang terhadap ap yang diberikannya. Apabila pengikut memiliki sepuluh hal tersebut maka ia layak jadi seorang pemimpin.

Kepada generasi muda penerus bangsa, marilah kita belajar menjadi pengikut yang baik sebelum kita memdapatkan kesempatan untuk menjadi pemimpin esok. Pemimpin yang muncul karena keadaan hanya dapat bertahan pada keadaan itu saja, tetapi pemimpin yang sebenarnya adalah kita yang mau belajar untuk menjadi pengikut yang baik karena ketika menjadi pengikut kita merasakan bagaimana diperitah.

Sebelum anak kecil dapat berlari maka ia harus belajar berjalan terlebih dahulu, dan sebelum seorang pandai berenang maka ia terlebih dulu harus pandai mengapung. Kepemimpinan itu memerlukan suatu proses untuk sukses menjadi pemimpin itu sendiri.

Belajar Mencintai Orang lain

Oleh : Lukmanulhakim*


Kita sering berbicara tentang cinta, baik kepada orang tua, saudara, teman, dan individu-individu lain. Sesuai dengan fitrahnya, manusia adalah makhluk sosial yang hidup di tengah komunitas masyarakat dan harus menjalin interaksi dengan banyak individu lain. Hubungan yang terjadi meliputi perasaan, sosial-kemasyarakatan, ekonomi, dan berbagai aspek hubungan yang lain. Seorang anak kecil sejak lahir sudah hidup ditengah-tengah keluarganya. Ia memiliki ikatan rasa cinta, kasih sayang, tolong-menolong, kesetiaan dan keikhlasan dengan anggota keluarganya. Ia juga merasa aman, tenteram, dan bahagia berada di tengah-tengah keluarganya.

Kecintaan pertama kali dari seorang anak adalah ketika dalam buaian ibunya. Hal ini disebabkan seorang ibu memenuhi semua kebutuhan primernya dan sang anak juga merasa puas jika kebutuhannya terpenuhi. Baru secara bertahap, anak itu akan mencintai individu lain yang ada disekitarnya, seperti ayah, saudara, teman, tetangga dan orang lain.

Sebagai seorang anak mencintai kedua orang tua dan saudaranya adalah hal yang berarti, dia juga merasa orang-orang itu mencintai, mengasihi, memperhatikan, dan melindunginya. Kondisi seperti inilah yang mendukung timbulnya timbal balik rasa kasih sayang dan cinta. Dengan demikian sang anak akan tumbuh dengan kepribadiannya sendiri sesuai dengan apa yang diterimanya.

Seorang anak yang tumbuh dan berkembang dalam kondisi seperti ini biasanya mencintai semua orang. Rasa cinta kepada orang lain dan keinginan mengaktualisasikan kemanpuannya merupakan salah satu faktor yang membuat seseorang merasa kalau di benar-benar berkembang di tengah masyarakat. Perkembangan yang dialaminya juga dipengaruhi oleh kondisi masyarakat tersebut.

Dari sini tampak jelas bahwa kehadiran cinta yang dimiliki seseorang berawal dari bagaimana cinta yang dialaminya ketika masih kecil. Cinta yang diterimanya waktu kecil akan dikembalikannya kepada orang lain ketika ia mulai tumbuh dan berkembang. Keterkaitan cinta dan kasih sayang seorang dengan individu lain akan memperkokoh perkembangannya sehingga dapat bergaul dalam komunitasnya.

Berbeda yang terjadi dimasyarakat kita pada umumnya, mereka mendapatkan limpahan cinta dan kasih sayang sejak usia dini, namun pertumbuhan dan perkembangan yang membawa mereka berpikir berbeda. Rasa cinta terkadang di lihat hanya sebatas objek tertentu, misalnya dari fisik, status, golongan dan lainnya, tanpa didasari hasrat yang kuat untuk menghargai orang lain dari apa yang dimilikinya. Hal yang sama juga terjadi ketika dalam mengungkapkan kecintaan pada orang lain. Ungkapan cinta hanya diungkapkan dengan sebuah perkataan, bunga, kado, cincin, coklat, dan lainya. Apakah rasa cinta kepada orang lain hanya sebatas hal yang demikian, tidakkah pernah dibayangkan jika apa yang diberikan dapat hilang, berubah dari kondisi semula, atau bahkan akan berlalu. Kahlil Gibran dalam puisi cintanya menyatakan bahwa, ”Cinta sejati adalah cinta yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata”. Furben Arogzu juga mengemukanan bahwa, “Hakikat cinta adalah ketika kita berani menghilangkan naluri kemanusiaan kita yang hewani. Untuk kemudian merengkuh sebuah hakikat di luar diri dibatas keagungan-Nya. Sungguh bahwa cinta itu teramat agung untuk disandarkan kepada sesuatu bersumber dari pada apa yang disebut “manusia” karena cinta adalah “hakikat”.

Mencintai orang lain adalah unsur penting yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Cinta akan menimbulkan rasa simpatik seseorang kepada orang lain. Cinta juga menguatkan rasa keterikatan dan persaudaraan yang mendalam. “Demi Zat Yang Menguasai jiwaku, kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan kalian tidak beriman sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku beri tahu tentang sesuatu yang harus bisa membuat kalian saling mencintai? Sebarkanlah salam diantara kalian!”(HR At-Tarmudzi), demikianlah sabda Rasulullah kepada umatnya agar mencintai satu sama lain.

Mencintai berarti menghargai sepenuh hati apa yang dimiliki orang lain karena cinta adalah kemulian yang memancar dari diri seseorang yang membangkitkan semangat persaudaraan, dan dengan keindahannya mendorong kepada kesucian (Al-Mawardi, 2001). Setiap orang yang mencintai orang lain menemukan rasa bagus dan indah bagi dirinya. Hal ini merupakan jenis kecintaan yang paling utama yang tidak dicampuri tujuan, karena setiap yang indah itu dicintai. Tinggallah, orang yang diliputi khayalan-khayalan sempit mengira bahwa tidak ada keindahan selain yang dapat dirasakan atau dikhayalkan. “Ketahuilah, kebagusan dan keindahan merupakan ungkapan segala yang hadir kesempurnaannya yang memungkinkan baginya. Bahkan kita ketahui bahwa kuda menganggap bagus apa yang tidak dianggap bagus oleh manusia. Garis itu menganggap bagus apa yang tidak dianggap bagus oleh suara dan gambar. Semua itu disukai. Jika seorang penghayal menghayalkan bahwa hal itu kembali pada rasa, maka akhlak, yang baik, ilmu, kemampuan, dan akal, semua itu baik dan disukai. Padahal semua itu tidak dapat dirasakan dengan indra, melainkan dirasa dengan cahaya mata hati” demikian nasihat Al-Gazhali (2000) dalam “Mutiara Ihya’uhlumuddin.

Cinta adalah kekuatan terbesar dalam hidup manusia. Seperti bait lirik sebuah lagu “Hidup tanpa cinta bagai taman tak berbunga”, ibarat “Burung yang patah sayapnya”. Cinta merupakan sentuhan hati terdalam yang dengan nalar sehat dan tak dapat dijangkau. Dengan cinta akan membuat jalan keras menjadi lembut dan membalikkan kegelapan menjadi cahaya. Tanpa cinta takkan pernah ditemukan kedamaian, persaudaraan dan saling pengertian.

Untuk mengakhiri opini ini penulis menyimpulkan bahwa urgensi cinta sangat penting untuk dipahami karena cinta tak sesempit yang kita bayangkan. Adanya kesalahan penafsiran oleh sebagian masyarakat tentang cinta. Cinta hanya dipandang pada suatu objek tertentu bukan atas dasar penghargaan dan penghormatan terhadap apa yang dimiliki orang lain. Cinta bukan sekedar untaian kata-kata indah sebagai instrumen penaklukan hati. Tapi sebagai penyemangat dalam setiap langkah kehidupan dan persaudaraan. Pribahasa Cina mengatakan “Bunga meniggalkan sebagian dari keharumannya di tangan yang memberikannya”.

Makna Sebuah Identitas

Oleh: Lukmanulhakim


Membahas tentang identitas atau biasa dikenal citra diri bukanlah hal yang tabu, sering diucapkan dan didengung-dengungkan
, contohnya; KTP dan paspor, sebagai kartu identitas bahwa kita memiliki kewarganegaraan, dan banyak lagi yang lain pendefinisian identitas bagi setiap individu. Di samping identitas yang disematkan dari luar diri, kita perlu menyadari bahwa pentingnya menilai diri dan kemampuan, mimpi dan cita-cita kita.

Penulis mengajak pembaca untuk berpikir dan bertanya kembali, Apakah kita sadar dan tahu tentang makna identitas yang melekat dalam diri kita? Yah, sekedar mengetahui bahwa orang tua kita si A, Lahir di Kota A. Mungkin itu belum cukup membantu membawa kita berpikir tentang masa depan kita, karena sebuah identitas akan mempengaruhi pikiran dan tindakan hingga menjadi takdir kelak.

Cara kita mendefinisikan diri akan sangat berpengaruh terhadap pikiran, tindakan dan keputusan yang kita ambil. Coba perhatikan ilustrasi dari cerita Anthony de Mello (2001) dalam buku “Awareness” tentang seekor anak elang yang dibesarkan oleh induk ayam. Tentu saja keluarga ayam ini mengajarkan kepada sang anak elang tentang segala sesuatu yang menyangkut ke-ayam-an, antara lain ayam memakan biji-bijian, ayam tidak bisa terbang tinggi, ayam hanya bisa begini, dan begitu saja.
Pada suatu waktu, si anak elang ini melihat burung elang yang gagah melintas di angkasa. Dengan detak kagum, sang anak elang berkata, “Alangkah gagah dan anggunnya burung itu.” Lalu, keluarga ayam yang mendengar komentar sang anak elang berkata, “Itu adalah burung elang. Ia memang memiliki kemampuan untuk terbang tinggi di angkasa. Sedangkan kita adalah ayam. Ayam hanya bisa terbang rendah dan tak akan pernah terbang tinggi seperti elang.

Singkat cerita, sang anak elang menerima bulat-bulat apa yang diajarkan keluarga ayam. Ia akhirnya mendefinisikan dirinya sebagai anak ayam. Karena ia mendefinisikan diri sebagai anak ayam, ia pun berpikir, berlaku, dan bertindak seperti anak ayam. Sampai akhir hayat sang anak elang, beraktivitas, bertindak dan mengambil keputusan seperti seekor ayam sesuai definisi yang diyakininya.

Coba bayangkan, apa yang terjadi jika sang anak elang ini mencoba mengoptimalkan kemampuannya seperti impiannya untuk terbang tinggi seperti elang yang dilihatnya.

Dari cerita di atas kita bisa mendapatkan beberapa pelajaran berharga mengenai pengaruh makna identitas diri yang kita yakini. Cara kita mendefinisikan identitas akan menentukan masa depan kita melalui cara berpikir dan bertindak.

Makna identitas diri mempengaruhi cara kita berpikir. Sang elang yang mendefinisikan diri sebagai anak ayam akhirnya berpikir seperti anak ayam. Cara makan, jenis makanan, kemampuan ayam untuk terbang mengikuti cara ayam berkehidupan.

Cara berpikir yang dimilikinya tersebut lantas juga mempengaruhi caranya bertindak. Karena pikirannya membatasi kemampuannya sebatas sebagai anak ayam, ia pun bertindak seperti anak ayam yang baik. Ia tidak pernah mencoba berpikir di luar batasan definisi yang digariskan oleh elang yang dilihatnya dapat terbang tinggi. Orang bijak berkata, “Seseorang akan menjadi seperti apa yang ada dalam pikirannya”.

Intinya, identitas diri memiliki fungsi seperti sebuah blueprint (cetak biru) dari masa depan kita. Dengan berpatokan pada cetakan inilah kita akhirnya membangun dan mewujudkan masa depan kita. Jika cetakan ini adalah cetakan sukses, sukseslah yang kita raih di masa depan. Sebaliknya, jika cetakan yang kita gunakan adalah cetakan penderitaan, kesengsaraan, atau keterbatasan, masa depan kita pastilah akan diwarnai dengan penderitaan, kesengsaraan, dan keterbatasan, sesuai dengan cetakan yang kita gunakan.

Coba kita perhatikan bagaimana seorang Einstein mendefinisikan diri dan pengaruhnya pada masa depan mereka.

Ketika masih di bangku sekolah dasar, Einstein dinilai gurunya sebagai anak bodoh, ideot dan pendiam yang sulit untuk mencerna pelajaran. Namun Sang ayah mengajaknya selalu berpikir dengan ransangan sebuah kompas sebagai hadiah ulang tahun dibantu Sang Ibu yang perhatian dan penyayang. Bagaimana jadinya jika orang tuanya dan Einstein kecil sendiri menerima saja definisi ”anak bodoh” yang diberikan sang guru, dan tidak melanjutkan sekolahnya. Pastilah kita tidak akan pernah mengenal nama Albert Einstein sebagai ilmuwan yang hebat yang bisa mengubah pandangan dunia melalui teori relativitasnya.

Lalu bagaimana kita bisa mendefinisikan makna identitas diri yang bisa menciptakan sukses bagi kita di masa depan? Dari Albert Einstein, juga tokoh-tokoh legendaris lainnya yang berhasil meraih sukses dalam kehidupan mereka, ada satu pelajaran penting yang bisa kita teladani. Mereka semua memiliki mimpi dan mimpi mereka selalu lebih besar dari kemampuan yang terlihat pada saat itu. Albert Einstein didefinisikan sebagi anak bodoh. Namun, orang tua Einstein dan juga sang anak sendiri menolak dibelenggu definisi diri yang rendah.

Sang ibu menjadi guru Einstein, sampai akhirnya Einstein mampu menyelesaikan pendidikan dasar, dan lalu bisa melanjutkan ke perguruan tinggi sampai tingkat yang paling tinggi. Hal yang sama berlaku juga pada Bill Gates dan tokoh-tokoh sukses lainnya.

Mereka semua berhasil keluar dari definisi diri yang rendah untuk meraih mimpi yang terlihat lebih besar dari kemampuan fisik mereka saat itu. Jadi, seperti kata Bung Karno, gantungkan cita-citamu setinggi langit, milikilah mimpi/atau cita-cita yang tinggi. Bila akhirnya tidak bisa mencapai langit, paling tidak kita bisa mencapai tinggi gunung Himalaya ataupun gedung tertinggi di dunia. Tak ada hal yang bisa membatasi kita. Hanya mimpi dan pikiran kitalah yang mampu membatasi kemampuan kita. Seperti kata orang bijak, jika suatu hal bisa kita bayangkan atau mimpikan, pasti hal tersebut bisa kita wujudkan.

Selain berusaha optimal, mimpi tidak dibatasi label yang diberikan masyarakat sekitar pada kemampuan kita. Kita juga perlu menggalang dukungan banyak orang untuk mewujudkan mimpi dengan lebih cepat dan lebih baik. Akan sulit bagi Albert Einstein untuk meraih sukses sebagai ilmuwan yang terkemuka dan terhormat tanpa mendapat dukungan dari ibu dan ayahnya, yang tekun memberikan pelajaran di rumah ketika ia ditolak di sekolah. Mereka semua tidak berjuang sendirian, tetapi mendapat dukungan banyak orang. Jadi, pastikan bahwa Anda didukung terlebih dulu paling tidak oleh keluarga, teman atau kerabat yang setia, sebelum akhirnya Anda mampu menggulirkan perubahan dan meraih kesuksesan yang didukung dan diakui oleh masyarakat luas.

REMAJA MENGHADAPI “PERANG PERADABAN”

Oleh : Lukmanulhakim

MANUSIA perkembangan berpengaruh pada perkembangan tahap berikutnya, salah satunya adalah tahap remaja. Tahap remaja adalah masa pancaroba atau peralihan
dari masa anak-anak ke masa dewasa. Pada tahapan ini digambarkan sebagai sosok yang labil dan rentan terhadap setiap perubahan yang ditandai dengan perilaku yang cenderung ingin coba-coba, bertindak atas dasar kemauan sendiri dan cenderung memberontak pada aturan yang sudah mapan. Pada masa ini merupakan masa yang rentan terhadap setiap perubahan dan berpengaruh pada perilakunya.
Kepribadian remaja yang dinilai labil itulah yang sering dijadikan sasaran “Perang Peradaban” oleh suatu kelompok terhadap kelompok lain dengan tujuan untuk menghancurkan kita. Perang peradaban terhadap remaja dilakukan dengan berbagai cara dan tujuan untuk ; (1) menghancurkan idealisme remaja dan menguatnya
pragmatisme di kalangan remaja; (2) mengembangkan dekadensi moral; (3) melunturkan akhlak dan mental.
Strategi “Perang Peradaban” untuk menghancurkan remaja dilakukan dengan melakukan penetrasi dan infiltasi budaya, strategi kebijakan pendidikan yang ditetapkan pemerintah dan menjadikan Indonesia peredaran narkoba. Sarana yang paling efektif untuk mencapai tujuan mempercepat proses “Perang Peradaban” adalah dengan memanfaatkan teknologi komunikasi berupa televisi dan internet.
Sistem pendidikan nasional yang berorientasi fisik dan banyak mengandalkan otak ketimbang keseimbangan spiritual, menumbuhkan individu yang menggandrungi
hal-hal bersifat intelegensi yang dapat mengangkat gengsinya dari pada yang bersifat spiritual. Sistem pendidikan yang berorientasi kapitalistik seperti itu menghasilkan tumbuhnya biaya konsumerisme dan hedonisme, padahal budaya modern secara spiritual tak berarti harus kehilangan perasaan yang fundamental dari nilai-nilai kehidupan. Hedonisme dan budaya konsumerisme yang melanda bangsa Indonesia mendorong munculnya mental menerabas yaitu keinginan mencapai tujuan dengan berbagai cara pintas.
Dilain pihak para orang tua, pendidik dan tokoh masyarakat sering terkesima melihat kenyataan arus yang ditiupkan oleh orang-orang yang berdalih sebagai seni designer hiburan dan sutradara film yang gersang dari tuntutan pendidikan dan moral. Fenomena informasi dan pendidikan seperti itu menakutkan berbagai pihak seperti orang tua, guru dan tokoh spiritual di masyarakat. Suasana seperti ini sangat tampak jelas, terasa dan menghimpit upaya pendidikan yang dilaksanakan secara wajar, teratur dan terarah. Inilah yang merupakan suatu gejala serangan dan jebakan atau
jeratan “Perang Peradaban” di bidang pendidikan dalam hiruk pikuk masalah narkoba, film berindikasi porno dan peracunan mental.
Fenomena peradaban yang sedang kita hadapi ini didukung dengan berkembangnya globalisasi informasi dan teknologi komunikasi. Globalisasi informasi dan teknologi komunikasi (utamanya internet) yang tidak dapat ditangkal oleh suatu negara, memberikan peluang bagi remaja untuk mengakses informasi tanpa batas.
Akses informasi tanpa batas ini selain memberikan kemanfaatan juga memberikan pengaruh negatif pada remaja. Melalui kemanfaatan juga menberikan pengaruh
negatif pada remaja. Melaui serangan ini pola pikir remaja yang masih ”lugu” menjadi ”gaul” akan budaya asing yang merusak, hal ini terkadang di sepelekan
oleh pihak orang tua maupun pendidik.
Seperti telah diuraikan di atas, bahwa prilaku individu merupakan hasil proses belajar sosial. Tindakan individu bukan semata-mata merupakan dorongan psikologis tetapi lebih disebabkan oleh faktor sosial (Doyle P Jhonson, 1986). Hal ini dilukiska pada
individu bersama dengan orang-rang lain adalah bagian dari suatu kelompok dan akibat kesadarannya itu individu memiliki tanggungjawab moral untuk bertindak
sesuai dengan tuntutan kelompok itu sebagai proses dan tingkat sosialisasi nilai Pada saat ini pemerintah dalam rangka menumbuhkan kesadaran remaja Indonesia melalui serangkaian proses sosialisasi di sekolah baik secara formal disekolah maupun informal berupa kegiatan seremonial dirasakan sangat tidak maksimal. Pendidikan keagamaan dan budi pekerti di sekolah diberikan sangat minim dan pelajaran di sekolah lebih ditekankan pada pelajaran yang dianggap dapat mengahasilkan peserta didik yang cerdas semata. Berbagai kegiatan penting yang dapat menumbuhkan kesadaran kolektif remaja seperti pengkajian maupun pengajian agama, atau dapat
dilakukan pembinaan lembaga-lembaga maupun organisasi di masyarakat tidak lagi dilaksanakan secara wajib bagi remaja.
Apa yang harus kita lakukan untuk menumbuhkan kesadaran remaja agar memiliki mental, moral dan akhlak adalah melalui pelaksanaan sosialisasi nilai keagamaan dan pendidikan budi pekerti baik secara formal di sekolah maupun non formal melalui pengkajian maupun pengajian agama atau dapat dilakukan pada pembinaan lembaga-lembaga maupun organisasi kemasyarakatan. Cara-cara ini ini dipandang dapat
digunakan menjadi filter terhadap masuknya budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai keagamaan dan budi pekerti remaja. Dengan kata lain untuk menghadapi
“Perang Peradaban”, kita perlu mempersenjatai remaja dengan kesadaran kolektif yang tinggi melalui sosialisasi nilai keagamaan dan budi pekerti baik secara formal maupun informal.
Berdasarkan pada uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa remaja secara alami memiliki kelemahan dalam proses perkembangan kepribadiannya. Kelemahan-kelemahan ini dapat dimanfaatkan oleh suatu negara untuk menghancurkan negara lain melalui para remajanya. Dalam kehidupan bermasyarakat, remaja memiliki peran penting karena remaja merupakan penerus generasi dan gambaran kondisi masyarakat. Kehancuran para remaja dalam suatu masyarakat akan berdampak pada
perkembangan masyarakat itu sendiri.

Jumat, 03 April 2009

KEMANAKAH ARAH PERJUANGAN PEMUDA KITA SAAT INI?

Melihat eksistensi dan peran pemuda saat ini tentu kita akan bertanya-tanya, apa yang diperjuangkan pemuda saat ini? Pertanyaan itu bukanlah hal yang tidak mendasar, karena memang nyatanya pemuda saat ini diselimuti kebimbingan terhadap arah perjuangan yang diinginkan. Secara sadar maupun tidak pemuda saat ini dikondisikan oleh zaman dan krisis kemanusian global. Krisis kemanusiaan global saat ini menempatkan pemuda sebagai agen atau subjek perubahan namun sebagai objek perubahan.

Potensi pemuda sebagai segmentasi terbesar dalam masyarakat dan perkembangan psikologi yang masih bertransisi menjadikannya sebagai target pasar dalam mengembangan perusaan-perusaan, pemenuhan massa dan objek kekuasaan. Di samping itu realitas zaman yang mengikis idealisme menambah kebutaan terhadap arah perjuanngan pemuda sendiri maka tidak salah ketika Bung Karno mengingatkan pemuda agar mewaspadai budaya ”Ngak, Ngek, Ngok” sebagai musuh bangsa. Tentu sangat kontradiktif ketika melihat, membaca serta mendengar semangat perjuangan yang dilakukan oleh bapak dan ibu yang membangun bangsa ini. Mungkin kondisi yang dijalani pada masa lalu berbeda dengan sekarang namun perlu disadari bahwa arah perjuangan mereka jelas. Dan sekarang?Mari kita bertanya kepada diri kita masing-masing sebagai pemuda.

Mencari solusi permasalahan pemuda saat ini tentu sangatlah kompleks. Dimanakah harus memulainya? Bagaimanakan memulainya, dan Siapa yang harus memulainya? Pertanyaan dasar ini harus dijawab oleh kita semua. Persoalan pemuda saat ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemuda itu sendiri namun menjadi tanggung jawab kita semua.

Secara sederhana memulai perubahan dapat melalui dua pendekatan, yaitu paradigma dan sistem. Kedua pendekatan tersebut sama-sama penting dan harus berjalan beriringan.

Paradigma menjadi target dalam merubah suatu bangsa karena ”paradigma merupakan paradogma” (Nataatmaja, 1998), dan ketika paradigma merupakan paradogma maka akan menjadi pemikiran yang diyakini. Para pakar sepakat bahwa ketika pemikiran terbentuk maka kecendrungan akan menjadi budaya dan karakter bangsa semakin besar. Pendekatan inilah yang menjadi target oleh bangsa-bangsa lain dalam merubah bangsa ini. Paradigma pemuda Indonesia diombang-ambingkan, dikotori dan diracuni dengan budaya-budaya asing yang tidak jelas melalui berbagai cara. Untuk menjaga karakter dan budaya pada diri pemuda bangsa ini juga dilakukan dengan membangun paradigmanya. Bimbingan orang tua, pergaulan yang baik, penanaman nilai-nilai dasar keagamaan diantaranya menjadi bagian penting dalam menjaga karakter dan budaya bangsa.

Di samping itu pendekatan sistem yang dibangun dalam pemerintahan di bangsa ini juga menjadi bagian penting. Sistem harus menjadi tameng pembentukan karakter dan budaya pemuda dari krisis kemanusia yang berasal dari bangsa-bangsa asing. Pemerintah harus menjadi garda terdepan dengan mengatur regulasi peraturan-peraturan yang berpihak kepada bangsa ini.

Kedua pendekatan di atas akan mendukung pemuda dalam menentukan arah perjuanngannya sehingga pemuda dapat fokus dalam menentukan identitas dirinya. Berbicara tentang arah perjuangan, haruslah mendasar dan memahami apa yang diperjuangkan. Pemuda harus sadar bahwa proses berjihad adalah tidak dibatasi ruang dan waktu. Dulu, sekarang, akan datang, di utara, timur, barat dan selatan dan kapan saja maupun dimana saja harus menanamkan nilai perjuangan. Karakter dan budaya bangsa sebagai negara yang berdaulat menjadi materi dalam perjuangan. Dan semangat perjuangan harus didasarkan atas kerelaan hati dan keridhaan ilahi bahwa perjuangan mempertahannkan bangsa menjadi bagian dari tugas keberagamaan.

Untuk melakukan itu perjuangan pemuda harus mengambil perjuangan pemuda harus menjadi bagian penting dalam bangsa ini dengan menyejajarkan diri dalam semua sistem dan potensi yang ada. Pemuda harus menjadi key factor dalam sistem yang digunakan. Dengan masuk ke dalam sistem, arah perjuangan akan lebih mudah terkondisikan. Disisi lain pemuda secara sadar harus berusaha mengembangkan diri agar mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Caranya, dengan membangun pemahaman bahwa satu orang pemuda adalah bagian dari bangsa ini, sehingga semua yang dilakukan akan berpengaruh pada bangsa ini.

Mengakhiri opini ini penulis hanya memberikan suatu pandangan bahwa untuk merubah suatu bangsa, semua masyarakat dalam bangsa itu harus marasa menjadi bagian dari bangsanya. Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknnya bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.

Kamis, 02 April 2009

Antara Agama dan Spiritual

Agama

Kata agama aslinya berasal dari bahasa sansekerta. Secara etimologi merupakan gabungan dari dua kata yaitu a artinya tidak dan gama artinya kacau, jadi agama adalah tidak kacau. Di Indonesia yang disebut agama sama dengan religion (Bhs. Inggris) atau din (Bhs. Arab).

Membahas masalah term agama ini dari berbagai bahasa akan membuat berbeda pengertiannya, walaupun intinya bisa jadi sama. Religion (English) berasal dari kata religio (latin) yang artinya mengikat dengan kencang, artinya yang lain adalah membaca kembali atau membaca berulang-ulang. Agama adalah seperangkat atauran dan kepercayaan yang dibebankan secara eksternal pada pengikutnya dan pengikutnya wajib melaksanakan aturan tersebut.

Agama dalam bahasa arab disebut "Din". artinya ketaatan dan balasan. Secara teknis didefinisakan keimanan kepada pencipta manusia dan alam semesta serta kepada hukum-hukum praktis yang sesuai dengan keimanan.

Agama Islam berawal dari arab, namun Islam memiliki definisi tersendiri terhadap agama. Dalam mendefinisikan agama menurut Islam penulis sependapat dengan definisi yang dikemukakan oleh K.H. Moenawar Cholil dalam Ensiklopedi Al-Qur’an (Rahardjo, 1996). Pada buku “Definisi dan Sendi Agama” ia mengatakan bahwa :

Ad-din dalam Al-Qur’an mengandung lebih dari 10 arti. Kata ad-dien adalah bentuk masdar dari kata dana, yadin-u. menurut segi bahasanya, kata itu mengandung banyak arti, antara lain : (1) cara atau adat kebiasaan, (2) peraturan, (3) undang-undang, (4) taat atau patuh, (5) menunggalkan ketuhanan, (6) pembalasan, (7) perhitungan, (8) hari kiamat, (9)nasihat, dan (10) agama.

Pemahaman Islam terhadap definisi agama berbeda dengan ummat beragama di luar Islam, sebagai contoh dalam Q.S al-Kafirun :6 yang artinya “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Dalam ayat lain juga dijelaskan ad-din sebagai agama pada Q.S al-Maun:1 yang artinya “ Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?”

Dua ayat di atas menyajikan dimensi ad-din yang benar, yaitu agama yang dibawa Muhammad saw. Dimensi pertama adalah dimensi ibadah dalam arti sempit yang lazim disebut ibadah mahdkah atau dimensi hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam dimensi ini, seorang muslim adalah seorang yang bukan saja percaya tentang adanya Tuhan, tetapi juga berserah diri dan mengarahkan pengabdiannya hanya kepada Allah Swt. Sebenarnya, haltersebut mengandung arti yaitu, mengikuti petunjuk dan jalan yang diberikan oleh Allah Swy, lewat wahyu-Nya yang mengandung dimensi hubungan dengan Allah maupun dengan sesama manusia. Tetapi untuk lebih menjelaskan adanya dua dimensi itu, maka diperlukan adanya pembedaan pengertian antara ibadah dalam arti sempit dan ibadah dalam arti luas, yang mencakup dua dimensi itu.

Agama dalam dimensi kedua dicerminkan oleh keseluruhan surat al-Ma’un. Pada ayat 4 terdapat pernyataan : “Maka celakalah orang-orang yang menjalankan sembahyang.”. dalam ayat ini, sembahyang atau shalat adalah ritus yang dilakukan secara individu maupun berjamaah, sebagai perilaku komunikasi dengan Allah Swt. Sembahyang adalah salah satu bentuk ibadah. Tetapi penjelasan selanjutnya difirmankan bahwa orang yang melakukan shalat itu bisa celaka, yaitu apabila ia lalai atau mengabaikan konsekwensi dari shalat itu, yaitu berbuat baik, terutama kepada anak yatim dan fakir miskin sertatidak bersika riya’ atau memamerkan diri untuk mendapatkan pujian dari orang lain. Perbuatan itu sama artinya “mendustakan agama.” Ini merupakan salah satu contoh dari dimensi sosial atau horisontal agama dalam paradigma Islam.

Spiritual

Cara pandang terhadap spiritual juga banyak perbedaan. Era pencarian spiritualitas dalam berbagai agama, tampaknya kini telah menjadi tern di seluruh dunia. Upaya untuk menemukan makna kehidupan dan keberadaan tuhan telah membawamanusia modern kepada pencarian spiritual yang tak kunjung selesai.

Spiritual berasal dari Bahasa Inggris Spiritualis, yang mengadopsi dari Bahasa Latin Spiritualis, asal kata : Spiritus artinya roh. Jadi secara leksikal spiritual adalah rohani.

Dipandang dari sudut agama spiritualisme itu mengacu kepada penjelmaan roh. Spiritualisme adalah suatu pandangan bahwa realitas puncak yang mendasari semua realitas adalah Ruh/Roh.

Perbedaan Agama dan Spiritual

Dari definisi-definisi diatas masih belum terlihat perbedaan antara agama dan spiritualitas, perlu perhatian yang mendalam untuk beberapa aspek. Kesulitan membedakan biasanya terjadi apabila kita tidak bisa memilah mana yang bersifat 'aspek bumi' dan mana yang bersifat 'langit' aspek spiritualitas pada agamanya. Kerancuan antara agama dengan spiritualitas adalah kesamaan hal yang dibahas seperti Tuhan, Jiwa, surga, neraka, tetapi tidak melihat sisi birokrasi dan ada sistem keorganisasian dalam beragama. Biasanya orang yang beranggapan bahwa agama adalah spiritualitas mengacu pada sisi tolerannya agama. Kenyataanya di dalam agama, selain memiliki sisi toleran ada juga sisi ekstrim, yang tidak mau tahu terhadap sistem keorganisasian dalam beragama.

Contohnya sisi ekstrim saja di dalam Islam adalah Jihad Islam, di dalam agama Kristen juga ada, contoh yang bersifat spiritual, di dalam agama Hindu yang memiliki banyak kitab suci, Kitab Wedha adalah kitab yang memfokuskan pada spritualitas. Boleh jadi pada Agama Islam contoh nya adalah ajaran Tasawuf.

Lalu, apa yang membedakan antara agama dengan spritualitas? Ada beberapa aspek yang berbeda di dalamnya, pada agama (A) bersifat Institusional, pada spiritualitas (S) bersifat universal, (A) mengacu pada eksternal (eksoteris) sebaliknya (S) Internal (essoteris), pada agama (A) memfokuskan ke ritual, sebaliknya spirtual (S) spontanitas, (A)untuk kalangan umum sebaliknya (S) khusus atau privat, (A) fokus pada tabiat/kelakuan sebaliknya (S) fokus pada cinta kasih, terakhir pada Agama (A) pengetahuan doktrin unik, sebaliknya spiritual (S) bisa bercampur.

Lahirnya Spiritualitas

Salah satu trend ekspresif zaman post modern adalah ditandainya pergolakan sosial yang cepat. Namun, kita tak sekadar bersaksi atas progresivitas pergolakan sosial, kecanggihan teknologi post industri abad ini. Di sisi lain, kita dihadapkan seribu krisis kemanusiaan: mulai dari krisis diri, depresi, stres, keretakan institusi keluarga, sampai beragam penyakit psikologis lainnya. Justru, jenis penyakit yang mengguncang diri kita di tengah situasi krisis dewasa ini, tak lain adalah hadirnya perasaan ketidaknyamanan psikologis. Ada semacam ketakutan eksistensial yang mengancam diri kita di tengah situasi krisis, sarat teror, konflik, dan kekerasan, sampai pembunuhan yang menghiasi keseharian hidup kita.

Di Barat, khususnya Amerika Utara, situasi krisis serupa, justru diiringi meningkatnya ketidakpercayaan pada institusi agama formal (a growing distrust of organized religion). Barangkali, ekstrimnya seperti dislogankan futurolog John Naisbitt bersama istrinya, Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000, Spirituality Yes, Organized Religion No!. Inilah model generasi baru yang gandrung pada Spiritualitas “Dunia Baru”.

Fenomena keagamaan inilah yang menarik dipotret. Apa itu gerakan “Dunia Baru” berikut ciri khasnya? Bagaimana model praktik spiritual “Dunia Baru” di tengah eksistensi agama-agama besar selama ini? Benarkah spiritualitas “Dunia Baru” tampil sebagai alternatif keberagaman dewasa ini?

Ada semacam arus besar kebangkitan spiritual yang melanda generasi baru dewasa ini, terutama di Amerika, Inggris, Jerman, Italia, Selandia Baru, dan seterusnya. Namun, benang merahnya hampir sama: memenuhi hasrat spiritual yang mendamaikan hati.Dunia Baru”.

Spiritualitas "Dunia Baru"

Ekspansi “Dunia Baru” menjadi populer dan fenomenal pada dasawarsa 1970-an sebagai protes keras atas kegagalan proyek Kristen dan sekulerisme dalam menyajikan wawasan spiritual dan petunjuk etis menatap masa depan.

Pertama, di lingkungan gereja Kristen, misalnya, kita sulit menghapus ingatan masa lalu saat Gereja ”tidak ada keselamatan di luar Gereja”. Bukankah ini cermin watak Gereja yang sarat claim of salvation? Bukankah claim of salvation tidak saja mengakibatkan sikap menutup diri terhadap kebenaran agama lain, tetapi juga berimplikasi serius terhadap konflik atas nama agama dan Tuhan.

Kedua, protes penganut paham “Dunia Baru” atas hilangnya kesadaran etis untuk menatap masa depan. Sebagai alternatif dari protesnya terhadap kegagalan gereja Kristen dan sekulerisme dalam menyajikan wawasan spiritual dan petunjuk etis menatap masa depan, maka banyak orang menoleh pada spiritualitas baru lintas agama. Kita tahu, betapa begitu kuatnya penganut paham ini berpegang pada prinsip spirituality: the heart of religion.

Manusia Modern dan Spiritualitas

Merupakan hal yang tak terbantahkan, bahwa sains dengan penemuan-penemuan spektakulernya membawa berkah bagi kehidupan manusia berupa kemudahan dalam menjalankan aktivitas kehidupan. Saat ini kita dapat merasakan bahwa hampir semua pekerjaan dapat dikerjakan oleh mesin mulai dari yang paling berat, rumit dan sulit hingga yang paling sederhana, gampang dan mudah. Dalam tiap ritme kehidupan, kita selalu dikelilingi oleh mesin, seolah kita tidak bisa hidup tanpanya sebagaimana sebagai makhluk seorang makhluk sosial, kita tidak dapat hidup tanpa manusia lainnya di sekeliling. Demikian adanya bahwa mesin memudahkan, membuai dan memanjakan kehidupan kita. Tetapi sekali lagi kita mesti ingat bahwa modernitas adalah produk ambigu manusia yang menghadirkan dua sisi berhadap-hadapan.

Di satu sisi, modernitas menghadirkan dampak positif dalam hampir seluruh konstruk kehidupan manusia. Namun pada sisi lain, juga tidak dapat ditampik bahwa modernitas punya sisi gelap yang menimbulkan akses negatif yang sangat bias. Dampak paling krusial dari, adalah terpinggirkannya manusia dari keberadaan manusia itu sendiri. Manusia modern melihat segala sesuatu hanya berdasar pada sudut pandang pinggiran eksistensi. Sementara pandangan tentang spiritual atau pusat spritualitas dirinya, terpinggirkan. Makanya, meskipun secara material manusia mengalami kemajuan yang spektakuler secara kuantitatif, namun secara kualitatatif dan keseluruhan tujuan hidupnya, manusia mengalami krisis yang sangat menyedihkan.

Dalam realitas sosial dapat kita temukan betapa banyak hari ini penyakit-penyakit sosial yang terjadi di masyarakat, mulai dari pelecehan seksual, pemerkosaan, pengkonsumsian obat-obat terlarang, minuman keras, aborsi, perilaku sadisme dan perilaku-perilaku kriminal lainnya yang kesemuanya menghiasi wajah gelap modernitas. Itulah di antara beberapa dampak yang terdapat dalam modernitas itu sendiri dimana kesemuanya ternyata sangat potensial untuk memberangus sisi-sisi eksistensial kemanusiaan. Sebagai kesimpulan sementara dapat dikatakan, bahwa kemajuan secara kuantitatif material yang dicapai oleh modernitas, tidak diiringi dengan kemajuan kualitatif. Modernitas dengan sederet dampak tersebut sedikit banyak telah memberikan keputusasaan beberapa sisi sejati dari manusia pemujanya. Hal inilah yang selanjutnya menyebabkan manusia modern salah orientasi dalam memaknai hakikat hidup yang ia jalani.

Relevansi Spiritualitas Agama

Modernitas senyatanya tidak hanya menghadirkan dampak positif, tapi juga dampak negatif. Terhadap dampak negatif ini, pertanyaan kita selanjutnya adalah apa yang seyogyanya kita lakukan, sementara modernitas dengan niscaya terus bergerak dengan tanpa memperdulikan apakah di balik gerakannya terdapat bias negatif. Modernitas yang merupakan kristalisasi budi daya manusia adalah keharusan sejarah yang tak terbantahkan, dengan demikian satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah menjadi partisipan aktif dalam arus perubahan modernitas, sekaligus membuat proteksi dari akses negatif yang akan dimunculkan. John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam “Megatrends 2000 mengatakan bahwa dalam kondisi seperti ini, maka agama merupakan satu tawaran dalam kegersangan dan kehampaan spiritualitas manusia modern. Dalam tesisnya ia mengatakan bahwa era milenium seperti sekarang merupakan era kebangkitan agama dan nilai-nilai esoteric. Bagi manusia modern, akses-akses negatif yang ditimbulkan oleh modernisasi akan mampu di proteksi oleh kearifan esoteric sebuah relegiusitas. Tetapi yang menarik dari fenomena ini adalah bahwa kecendrungan sikap dan pilihan beragama kaum modernis adalah model beragama yang mengedepankan spirit relegiusitas ketimbang formalitas agama konvensional. Slogan mereka yang cukup terkenal itu adalah “Spirituality yes, organized relegion no” (Naisbitt,1990). Hal ini jika kita simak secara mendalam lebih disebabkan oleh adanya pengaruh dari karakteristik modernisasi yang mengdepankan rasio dan daya kritis terhadap sebuah kebenaran.

Terdapat alasan ontologis-teologis mengapa sisi spiritualitas tetap menjadi kebutuhan perenial manusia; seprimitif dan semoderen apapun dia. Ia menganalogikan kebutuhan perenial itu dengan memetaforakan seperti sebuah cerita film (Yasraf Amir Pilliang, 2004). Bila di dalam segala sesuatu telah diketahui sebelumnya, artinya tidak ada lagi misteri dan pertanyaan yang perlu dijawab, enigma yang harus diselesaikan dan lain-lain, maka tidak ada makna baru yang penting dicari karena semuanya telah terbuka dan tersibak. Apa yang menarik dari sebuah film tersebut untuk kita tonton hingga menghabiskan waktu berjam-jam, toh kita telah tahu semuanya, seperti apa ending dari ceritanya. Film baru akan menarik manakala ia menghadirkan rasa penasaran, karena ia menyimpan misteri, pertanyaan dan enigma sehingga ia akan menghadirkan pengalaman baru bagi penontonnnya.

Demikian pula kehidupan ini, manakala saat kita berada di atas dunia semuanya telah menjadi nyata, semua membentangkan realitas sebenarnya, tidak ada lagi ruang suci tak tersentuh yang kemudian menjadikan kita tidak lagi mempunyai pekerjaan untuk memimpikan, mengilusikan, menghayalkan, dan menafsirkan, sesungguhnya tidak ada lagi yang namanya kehidupan di dunia. Dunia akan hidup manakala masih ada realitas tak tersentuh yang kemudian menghadirkan energi bagi manusia untuk berikhtiar mengungkapnya baik melalui penalaran, perenungan, pengembaraan jiwa dan lain-lain. Yang jelas bahwa Realitas Tak Tersentuh ini sebagai sesuatu yang berada di luar kekuasaan manusia, di luar pengalaman manusia dan mungkin di luar kemampuan akal manusia pula.

Dalam konteks ini, asumsi awal yang dapat kita berikan bahwa semodern apapun sebuah komunitas, agama tetap akan eksis, dibutuhkan dan tetap dapat menjadi tawaran solutif terhadap penyakit sebagai darivasi dari peradaban yang dimunculkan. Agama diperlukan guna menjelaskan makna dan tujuan hidup manusia. Agamalah yang mengisi sisi spiritual manusia yang tidak mungkin dipenuhi oleh rasionalitas dan ilmu pengetahuan. Bahkan menurut William James, agama akan selalu ada selagi manusia memiliki rasa cemas.

Namun demikian tidak semua agama dapat menjawab persoalan kemanusiaan. Hanya agama yang menjamin pemenuhan spritualitas dan tidak bertentangan dengan sains dan teknologilah yang dapat bertahan. Selain itu pendekatan beragama yang cenderung ekslusif juga tidaklah cocok untuk ditawarkan pada hari ini dan masa yang akan datang karena pada masyarakat yang terbuka semacam ini agama semacam itu cenderung menyulut konflik. Agama masa depan yang akan muncul adalah agama yang menekankan dan menghargai persamaan nilai-nilai luhur pada setiap agama.

PEMUDA DI PERSIMPANGAN JALAN

PEMUDA DI PERSIMPANGAN JALAN

Oleh : Lukmanulhakim

Pemuda merupakan aspek penting dalam perubahan sosial di samping sebagai lapisan sosial dalam masyarakat. Lebih jauh dari itu, pemuda merupakan konsep yang menerobos definisi pelapis sosial tersebut, terutama terkait dengan konsepsi nilai-nilai. Rasulullah saw. bersabda , ”Jagalah masa mudamu sebelum masa tuamu... ” (HR. Hakim), mengingatkan pemuda untuk menjaga masanya, dalam menghadapi kehidupan di masa depan.

Perlu disadari bahwa pemuda muda merupakan usia dimana seseorang manusia melalui fase peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa. Erickson-tokoh teori perkembangan- menjelaskan bahawa di antara usia ini manusia-pemuda- mulai tumbuh perasaan diri bahwa dirinya memasuki peranan yang berarti dalam masayarakat apakah peranan itu bersifat menyesuaikan diri atau memperbaharui. Proses pencarian identitas inilah yang sangat perlu untuk diperhatikan.

Menyikapi fenomena dunia yang semakin maju dan krisi multidimensi yang semakin tak menentu, memberikan pemuda referensi untuk melihat dunia dengan paradigma yang global. Bebicara sosok pemuda saat ini, memang kerap identik dengan membicarakan nilai-nilai yang dilekatkan didadanya. Sosok pemuda sering dikaitkan dengan peran sosial (politik) yang dilakukannya. Hal ini dapat dipahami, mengingat sosok pemuda telah tercitra sebagai sosok yang melekat dengan objek pelaku perubahan sosial.

Realitas kepemudaan kita di dalam spektrum yang lebih luas merupakan refleksi yang muncul, tatkala memotret realitas kepemudaan kita dewasa ini. Pemuda kita dihadapkan pada persimpangan jalan terjal untuk mencari makna kehidupan yang dilaluinya. Persimpangan jalan ini sering kita sebut Idealisme dan Pragmatisme.

Idealisme dan pragmatisme merupakan paham yang sekarang sedang berkembang dalam pemikiran pemuda-pemuda kita. Keduanya seakan sulit untuk disatukan.

Secara populer Idealisme sejenis pemimpi atau seseorang yang berpegang pada prinsip-prinsip yang ideal. Kattsoff (1992) Menyatakan bahwa ”seorang yang tidak psikis karena pandangannya tertuju pada hal-hal atau keadaan-keadaan yang pada hakekatnya sempurna. Sosok pemuda yang idealis, yang mencoba merealisasikan idealismenya itu ke konteks realitas. Pemuda memainkan perannya yang nyata di tengah-tengah publik luas. Sosok-sosok pemuda seperti ini, tentu tergolong sebagai sosok-sosok yang dinanti-nantikan kehadirannya saat ini. Sedangkan Pragmatisme merupakan paham yang berpegang teguh pada praktek. Hadi (1994) Menyatakan bahwa ” kebenaran adalah apa yang membawakan hasil ”. Secara sederhana paham pragmatis juga mendasarkan pemikirannya pada azas manfaat. Sosok pemuda yang pragmatis cendrung melihat suatu masalah dan berbuat melihat apakah bermanfaat bagi dirinya atau tidak.

Kedua paham diatas didefinisikan oleh pemuda menjadi suatu pemikiran yang berkembang saat ini. Dalam tataran pelaksanaan terhadap konsep nilai-nilai dari ke dua paham di atas terjadi pertentangan yang kontradiktif. Disatu sisi secara obyektif dibalik idealisme atas sosok pemuda, terdapat banyak hal yang masih jauh dari harapan. Ada kalanya pemuda di puja-puja sebagai pahlawan, tetapi di sisi yang lain, pemuda dicela dan dinafikan. Dalam hal ini perlu dipahami, pemuda memang tidak bermakna tunggal, melainkan jamak (plural).

Masalah ini menjadi sebuah persoalan yang penting untuk dicari jawabannya. Terkadang paradigma kita yang subjektif terhadap satu diataranya menjaidkan mindset kita termarjinalkan. Namun jika kita dapat sedikit membuka celah perbedaan dengan dialog, bisa saja menjadi suatu pemahaman yang komplementer untuk menyempurnakan suatu pemikiran.

Secara sederhana kita dapat merasakan bahwa berpikir tentang suatu yang ideal itu penting, sebagai seorang pemimpi, namun akan lebih sempurna jika pemikiran yang ideal dapat menjadi landasan dalam berprilaku maupun berpikir. Misalnya, secara pragmatis seorang mahasiswa ingin mendapatkan hasil yang maksilal dalam ujian semester. Ia bisa saja menghalalkan segala cara agar tujuannya tercapai. Tapi pikiran idealis menghendakinya untuk berprilaku jujur dalam ujian tersebut.

Menutup opini ini penulis mencoba untuk mengajak semua pemuda untuk kita sama-sama mengkaji kembali pemahaman yang berkembang saat ini agar tidak terjebak di persimpangan jalan sehingga salah&stagnan karena takut dalam melangkah. Kita perlu sadar bahwa setiap individu mempunyai misi hidup yang berbeda. Karena termotifasi oleh misi itulah maka kita sering mengesampingkan nilai-nilai moral yang menjadi prinsip hidup. Namun, kita juga harus sadar bahwa nilai-nilai moral dalam kehidupan yang ideal sangat penting sebagai kontrol sosial dalam bermasyarakat.