Kamis, 02 April 2009

Lahirnya Spiritualitas

Salah satu trend ekspresif zaman post modern adalah ditandainya pergolakan sosial yang cepat. Namun, kita tak sekadar bersaksi atas progresivitas pergolakan sosial, kecanggihan teknologi post industri abad ini. Di sisi lain, kita dihadapkan seribu krisis kemanusiaan: mulai dari krisis diri, depresi, stres, keretakan institusi keluarga, sampai beragam penyakit psikologis lainnya. Justru, jenis penyakit yang mengguncang diri kita di tengah situasi krisis dewasa ini, tak lain adalah hadirnya perasaan ketidaknyamanan psikologis. Ada semacam ketakutan eksistensial yang mengancam diri kita di tengah situasi krisis, sarat teror, konflik, dan kekerasan, sampai pembunuhan yang menghiasi keseharian hidup kita.

Di Barat, khususnya Amerika Utara, situasi krisis serupa, justru diiringi meningkatnya ketidakpercayaan pada institusi agama formal (a growing distrust of organized religion). Barangkali, ekstrimnya seperti dislogankan futurolog John Naisbitt bersama istrinya, Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000, Spirituality Yes, Organized Religion No!. Inilah model generasi baru yang gandrung pada Spiritualitas “Dunia Baru”.

Fenomena keagamaan inilah yang menarik dipotret. Apa itu gerakan “Dunia Baru” berikut ciri khasnya? Bagaimana model praktik spiritual “Dunia Baru” di tengah eksistensi agama-agama besar selama ini? Benarkah spiritualitas “Dunia Baru” tampil sebagai alternatif keberagaman dewasa ini?

Ada semacam arus besar kebangkitan spiritual yang melanda generasi baru dewasa ini, terutama di Amerika, Inggris, Jerman, Italia, Selandia Baru, dan seterusnya. Namun, benang merahnya hampir sama: memenuhi hasrat spiritual yang mendamaikan hati.Dunia Baru”.

Spiritualitas "Dunia Baru"

Ekspansi “Dunia Baru” menjadi populer dan fenomenal pada dasawarsa 1970-an sebagai protes keras atas kegagalan proyek Kristen dan sekulerisme dalam menyajikan wawasan spiritual dan petunjuk etis menatap masa depan.

Pertama, di lingkungan gereja Kristen, misalnya, kita sulit menghapus ingatan masa lalu saat Gereja ”tidak ada keselamatan di luar Gereja”. Bukankah ini cermin watak Gereja yang sarat claim of salvation? Bukankah claim of salvation tidak saja mengakibatkan sikap menutup diri terhadap kebenaran agama lain, tetapi juga berimplikasi serius terhadap konflik atas nama agama dan Tuhan.

Kedua, protes penganut paham “Dunia Baru” atas hilangnya kesadaran etis untuk menatap masa depan. Sebagai alternatif dari protesnya terhadap kegagalan gereja Kristen dan sekulerisme dalam menyajikan wawasan spiritual dan petunjuk etis menatap masa depan, maka banyak orang menoleh pada spiritualitas baru lintas agama. Kita tahu, betapa begitu kuatnya penganut paham ini berpegang pada prinsip spirituality: the heart of religion.

1 komentar:

  1. Agama itu sebenarnya hanya seperangkat aturan untuk mencapai tergapainya alam spiritual yg hakiki tp tdk mutlak..krn spiritualism itu ada dalam kuasa dan kehendak Allah, kalau msh kesadaran akal ya..itu msh kesadaran akal...ya ...msh agama .itu msh jauh dr kesadaran spiritul...singkatnya yg membedakan itu cuma sarana komunikasi hamba dg Tuhannya saja..spiritual merupakan komunikasi inten dan spontan dalam alam ruh yg menyatu dg Tuhannnya yg lalu memberikan efek getaran dan berpengaruh lgs pd jiwa..kalbu..fikiran...dan tubuh pd akhirnya...

    BalasHapus