Senin, 13 April 2009

Makna Sebuah Identitas

Oleh: Lukmanulhakim


Membahas tentang identitas atau biasa dikenal citra diri bukanlah hal yang tabu, sering diucapkan dan didengung-dengungkan
, contohnya; KTP dan paspor, sebagai kartu identitas bahwa kita memiliki kewarganegaraan, dan banyak lagi yang lain pendefinisian identitas bagi setiap individu. Di samping identitas yang disematkan dari luar diri, kita perlu menyadari bahwa pentingnya menilai diri dan kemampuan, mimpi dan cita-cita kita.

Penulis mengajak pembaca untuk berpikir dan bertanya kembali, Apakah kita sadar dan tahu tentang makna identitas yang melekat dalam diri kita? Yah, sekedar mengetahui bahwa orang tua kita si A, Lahir di Kota A. Mungkin itu belum cukup membantu membawa kita berpikir tentang masa depan kita, karena sebuah identitas akan mempengaruhi pikiran dan tindakan hingga menjadi takdir kelak.

Cara kita mendefinisikan diri akan sangat berpengaruh terhadap pikiran, tindakan dan keputusan yang kita ambil. Coba perhatikan ilustrasi dari cerita Anthony de Mello (2001) dalam buku “Awareness” tentang seekor anak elang yang dibesarkan oleh induk ayam. Tentu saja keluarga ayam ini mengajarkan kepada sang anak elang tentang segala sesuatu yang menyangkut ke-ayam-an, antara lain ayam memakan biji-bijian, ayam tidak bisa terbang tinggi, ayam hanya bisa begini, dan begitu saja.
Pada suatu waktu, si anak elang ini melihat burung elang yang gagah melintas di angkasa. Dengan detak kagum, sang anak elang berkata, “Alangkah gagah dan anggunnya burung itu.” Lalu, keluarga ayam yang mendengar komentar sang anak elang berkata, “Itu adalah burung elang. Ia memang memiliki kemampuan untuk terbang tinggi di angkasa. Sedangkan kita adalah ayam. Ayam hanya bisa terbang rendah dan tak akan pernah terbang tinggi seperti elang.

Singkat cerita, sang anak elang menerima bulat-bulat apa yang diajarkan keluarga ayam. Ia akhirnya mendefinisikan dirinya sebagai anak ayam. Karena ia mendefinisikan diri sebagai anak ayam, ia pun berpikir, berlaku, dan bertindak seperti anak ayam. Sampai akhir hayat sang anak elang, beraktivitas, bertindak dan mengambil keputusan seperti seekor ayam sesuai definisi yang diyakininya.

Coba bayangkan, apa yang terjadi jika sang anak elang ini mencoba mengoptimalkan kemampuannya seperti impiannya untuk terbang tinggi seperti elang yang dilihatnya.

Dari cerita di atas kita bisa mendapatkan beberapa pelajaran berharga mengenai pengaruh makna identitas diri yang kita yakini. Cara kita mendefinisikan identitas akan menentukan masa depan kita melalui cara berpikir dan bertindak.

Makna identitas diri mempengaruhi cara kita berpikir. Sang elang yang mendefinisikan diri sebagai anak ayam akhirnya berpikir seperti anak ayam. Cara makan, jenis makanan, kemampuan ayam untuk terbang mengikuti cara ayam berkehidupan.

Cara berpikir yang dimilikinya tersebut lantas juga mempengaruhi caranya bertindak. Karena pikirannya membatasi kemampuannya sebatas sebagai anak ayam, ia pun bertindak seperti anak ayam yang baik. Ia tidak pernah mencoba berpikir di luar batasan definisi yang digariskan oleh elang yang dilihatnya dapat terbang tinggi. Orang bijak berkata, “Seseorang akan menjadi seperti apa yang ada dalam pikirannya”.

Intinya, identitas diri memiliki fungsi seperti sebuah blueprint (cetak biru) dari masa depan kita. Dengan berpatokan pada cetakan inilah kita akhirnya membangun dan mewujudkan masa depan kita. Jika cetakan ini adalah cetakan sukses, sukseslah yang kita raih di masa depan. Sebaliknya, jika cetakan yang kita gunakan adalah cetakan penderitaan, kesengsaraan, atau keterbatasan, masa depan kita pastilah akan diwarnai dengan penderitaan, kesengsaraan, dan keterbatasan, sesuai dengan cetakan yang kita gunakan.

Coba kita perhatikan bagaimana seorang Einstein mendefinisikan diri dan pengaruhnya pada masa depan mereka.

Ketika masih di bangku sekolah dasar, Einstein dinilai gurunya sebagai anak bodoh, ideot dan pendiam yang sulit untuk mencerna pelajaran. Namun Sang ayah mengajaknya selalu berpikir dengan ransangan sebuah kompas sebagai hadiah ulang tahun dibantu Sang Ibu yang perhatian dan penyayang. Bagaimana jadinya jika orang tuanya dan Einstein kecil sendiri menerima saja definisi ”anak bodoh” yang diberikan sang guru, dan tidak melanjutkan sekolahnya. Pastilah kita tidak akan pernah mengenal nama Albert Einstein sebagai ilmuwan yang hebat yang bisa mengubah pandangan dunia melalui teori relativitasnya.

Lalu bagaimana kita bisa mendefinisikan makna identitas diri yang bisa menciptakan sukses bagi kita di masa depan? Dari Albert Einstein, juga tokoh-tokoh legendaris lainnya yang berhasil meraih sukses dalam kehidupan mereka, ada satu pelajaran penting yang bisa kita teladani. Mereka semua memiliki mimpi dan mimpi mereka selalu lebih besar dari kemampuan yang terlihat pada saat itu. Albert Einstein didefinisikan sebagi anak bodoh. Namun, orang tua Einstein dan juga sang anak sendiri menolak dibelenggu definisi diri yang rendah.

Sang ibu menjadi guru Einstein, sampai akhirnya Einstein mampu menyelesaikan pendidikan dasar, dan lalu bisa melanjutkan ke perguruan tinggi sampai tingkat yang paling tinggi. Hal yang sama berlaku juga pada Bill Gates dan tokoh-tokoh sukses lainnya.

Mereka semua berhasil keluar dari definisi diri yang rendah untuk meraih mimpi yang terlihat lebih besar dari kemampuan fisik mereka saat itu. Jadi, seperti kata Bung Karno, gantungkan cita-citamu setinggi langit, milikilah mimpi/atau cita-cita yang tinggi. Bila akhirnya tidak bisa mencapai langit, paling tidak kita bisa mencapai tinggi gunung Himalaya ataupun gedung tertinggi di dunia. Tak ada hal yang bisa membatasi kita. Hanya mimpi dan pikiran kitalah yang mampu membatasi kemampuan kita. Seperti kata orang bijak, jika suatu hal bisa kita bayangkan atau mimpikan, pasti hal tersebut bisa kita wujudkan.

Selain berusaha optimal, mimpi tidak dibatasi label yang diberikan masyarakat sekitar pada kemampuan kita. Kita juga perlu menggalang dukungan banyak orang untuk mewujudkan mimpi dengan lebih cepat dan lebih baik. Akan sulit bagi Albert Einstein untuk meraih sukses sebagai ilmuwan yang terkemuka dan terhormat tanpa mendapat dukungan dari ibu dan ayahnya, yang tekun memberikan pelajaran di rumah ketika ia ditolak di sekolah. Mereka semua tidak berjuang sendirian, tetapi mendapat dukungan banyak orang. Jadi, pastikan bahwa Anda didukung terlebih dulu paling tidak oleh keluarga, teman atau kerabat yang setia, sebelum akhirnya Anda mampu menggulirkan perubahan dan meraih kesuksesan yang didukung dan diakui oleh masyarakat luas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar