Senin, 13 April 2009

Untuk Apa Kuliah?

Oleh: Lukmanulhakim

Dalam menyikapi perkembangan dunia yang semakin pesat dan kompleks ini, kita dituntut untuk lebih proaktif dan kritis terhadap tantangan yang harus ditanggapi jika ingin mengiringi perkembangan tersebut.

Banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi berdampak kepada kehidupan masyarakat dan perekonomian menjadi lebih kompleks, sifat dasar pekerjaan tunbuh sangat pesat, masa lalu semakin tidak dapat dijadikan pedoman bagi masa depan, jenis-jenis pekerjaan menghilang dengan kecepatan tak terbayangkan dan banyak tantangan lain yang harus dihadapi di zaman ketidakpastian ini (Rose & Nicholl, 2002).

Keberhasilan pada masa depan akan tergantung sejauh mana kita mengembangkan ketrampilan-ketrampilan yang tepat untuk menguasai kekuatan kecepan, kompleksitas dan ketidakpastian yang saling berhubungan satu sama lain.

UNESCO memberikan ciri masyarakat masa depan adalah globalisasi ekonomi, demokrasi sistem politik, dan seluruh aktifitas manusia berbasis ilmu pengetahuan yang kesemuanya itu menghendaki masyarakat pembelajar (Learning Society). Untuk menciptakan masyarakat pembelajar sebagaimana yang diamanahkan UNESCO di atas, maka perguruan tinggi berupaya menghasilkan manusia pembelajar yang diharapkan dapat menhadapi tantangan perkembangan di masa depan.

Kampus atau perguruan tinggi sebagai lembaga pembelajaran dituntut untuk menciptakan ilmuwan dan produk pengembangan serta kesiapan penerapan keahlian dalam masyarakat. Hal-hal tersebut akan dibangun memalui bangku perkuliahan. Bangku perkuliahan sendiri merupakan suatu proses pembelajaran pada satuan pendidikan yang diselenggarakan harus secara interaktif, inspiratif, dan menyenangkan, menantang, dan memotivasi mahasiswanya untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang cukup bagi prakarsa, kreatifitas dari kemandirian sesuai dengan bakat, minat , dan perkembangan fisik dan psikologi.

Sayangnya yang menjadi kewajiban dari perguruan tinggi di atas belum dapat membantu menciptakan mahasiswa yang dapat menyesuaikan diri setelah menamatkan perkuliahan. Hal ini terbukti masih terdapat korelasi yang signifikan antara kelulusan perguruan tinggi dengan angka pengangguran kaum terdidik. Harus disadari bahwa realitas tersebut masih disebabkan oleh ketalnya pengaruh aliran behavioristik.

Aliran behavioristik merupakan aliran lama cendrung kaku dalam menjtransformasi dan mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Ciri-cirinya yaitu (1) masih memandang pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap dan tidak berubah; (2) belajar dalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah mentransfer ilmu pengetahuan ke orang yang belajar; (3) perserta didik diharapkan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan, artinya apa yang dipahami oleh pengajar itulah yang harus dipahami oleh yang belajar; (4) fungsi mind adalah menjiplak struktur pengetahuan melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan.

Pengaruh aliran behavioristik di atas berdampak sangat besar terhadap kecerdasan dalam menanggapi ilmu pengetahuan dan berimbas pula pada menurunnya kreatifitas peserta didik dalam mengekspresikan kemampuannya. Bahkan akan memberikan kebingungan terhadap perguruan tinggi yang dipilih untuk mendapatkan masa depan yang cerah, sedangkan system pembelajaran yang dihadapi semasa perkuliahan belum sesuai dengan apa yang diharapkan.

Sindunata dalam (Hariera, 2004) menyatakan para ahli di Jerman dan Perancis misalnya, tidak lagi sekedar mempertanyakan sekolah dan universitas apa yang kita perlukan di masa depan? Tetapi sudah sampai pada pertanyaan yang lebih mendasar yaitu adakah masa depan bagi sekolah dan universitas?.

Perkuliahan yang sarat dengan pendekatan behavioristik di atas tidak dapat diharapkan membentu atau melahirkan manusia pembelajar. Jika demikian untuk apa kuliah?

Untuk mewujudkan manusia dan masyarakat pembelajar, maka pembelajaran yang selama ini masih berlangsung harus dirubah. Pembelajaran harus mulai bergeser ke arah aliran/pendekatan konstruktivistik. Aliran ini memilki ciri-ciri (1) pengetahuan adalah non objektif, bersifat temporer, selalu berubah dan tidak menentu; (2) penyusuna pengetahuan dari pengalaman konkret, aktifitas kolaboratif, refleksi dan interpretasi; (3) peserta didik memilki pengalaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya, dan perspektifnya dalam mengimlementasikan ilmu; (4) Mind berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasikan peristiwa, objek atau perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individulistik. Pembelajaran ini menekankan pada belajar bagaimana belajar, menciptakan pemahaman baru yang menuntut aktifitas kreatif, produktif dalam konteks nyata yang mendorong peserta didik untuk berpikir ulang serta mendemonstrasikannya.

Ciri-ciri pembelajaran konstruktivistik di atas telah memberikan kita penjelasan singkat bagaimana seharusnya sistem pembelajaran yang seharusnya kita terima dan gunakan untuk membentuk manusia pembelajar. Aliran konstruktivistik berangkat dari pengakuan bahwa orang yang belajar harus bebas. Hanya di alam yang penuh kebebasan inilah si pelajar dapat mengungkapkan makna yang berbeda dari dari hasil interpretasinya terhadap segala sesuatu yang ada di dunia nyata. Kebebasan menjadi unsur yang mendasar dalam lingkungan belajar.

Kegagalan atau keberhasilan , kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang sangat perlu untuk dihargai. Kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Peserta didik adalah subjek yang harus mampu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam belajar karena kontrol belajar dipegang oleh Si pelajar itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar